AsiaCalling

Home Berita Burma Masalah Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Burma

Masalah Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Burma

E-mail Cetak PDF

Download Setelah dikritik sejumlah kelompok hak asasi internasional, pemerintah Burma menyatakan minoritas Muslim Rohingya ‘berhak’ mendaftar untuk mendapatkan kewarganegaraan.

Orang Rohingya yang lahir di Burma berhak mendaftarkan diri untuk kewarganegaraan,  kalau sedikitnya dua generasi keluarga mereka pernah tinggal di negeri itu.

Pasalnya, Burma menganggap etnis Rohingya sebagai imigran dari Bangladesh meski mereka sudah tinggal di Burma selama puluhan tahun.  

PBB menyebut Rohingya sebagai kelompok minoritas yang paling teraniaya – karena mereka tak bisa pindah ke negara bagian lain, menikah, atau mendapatkan pekerjaan tanpa izin pemerintah.

Ikuti laporan selengkapnya bersama Banyol Kong Janoi dari satu kamp pengungsi di pinggiran ibukota negara bagian itu di Sittwe.

Ma Hnin, 32 tahun, menunjukkan rumahnya di peta buatan sendiri.

Keluarganya sudah tinggal di negara bagian Rakhine selama puluhan tahun. Tapi kerusuhan Juni lalu memaksa mereka untuk pindah ke kamp darurat di pinggiran kota Sittwe.

“Saya lahir di sini, dan saya punya akte kelahiran Burma. Orangtua saya punya KTP Myanmar. Waktu saya 12 tahun, kebijakan pemerintah berubah, jadi kami tidak bisa mendapatkan KTP. Sebagai gantinya kami diberikan kartu penduduk sementara.”

Kartu sementara tersebut hanya diberikan kepada komunitas Muslim di Negara Bagian Rakhine.

Di bagian belakang kartu ada catatan yang menyebutkan kalau pemilik kartu ini tidak berhak untuk mengklaim kewarganegaraan Burma.

Tanpa KTP Burma, pilihan Ma Hnin pun terbatas.

“Saya ingin ambil jurusan teknik di Universitas Teknik Sittwe. Nilai-nilai SMU saya memenuhi persyaratan untuk masuk ke sana dan saya bahkan sudah diterima. Tapi waktu saya ke kantor pendaftaran, Dekan menolak pendaftaran saya karena saya tidak punya KTP. Jadi saya pindah ke jurusan hukum. Di tahun terakhir saya lulus ujian, tapi saya tidak bisa dapat sertifikat karena saya tidak punya KTP. Saya tanya sama Dekan, kenapa saya tidak diberi tahu sejak awal sehingga saya tidak usah buang-buang waktu. Katanya, dia tidak tahu soal ini sebelumnya. Dia baru dapat perintah kalau semua mahasiswa yang tidak punya KTP Burma tidak boleh mendapatkan gelar apapun.”

Setelah lulus pun, tak gampang bagi Ma Hnin mendapatkan pekerjaan yang bagus.

“Saya kehilangan banyak kesempatan kerja karena saya tidak bisa menunjukkan ijazah saya. Saya tidak diberikan transkrip atau dokumen apapun untuk membuktikan kalau saya sudah lulus ujian akhir. Saya kembali ke universitas dan meminta Dekan untuk membuat surat rekomendasi yang membuktikan kalau saya sudah lulus ujian akhir. Tapi dia bilang saya, kalau ia tidak boleh memberikan surat seperti itu kepada saya.”

Ia sempat bekerja di sebuah LSM, tapi mereka terpaksa berhenti karena dituding membantu orang-orang Rohingya.

Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1982 membuat beberapa kategori warga negara, dan etnis Rohingya tidak termasuk di dalamnya.

Berdasarkan aturan hukum, mereka tidak boleh pindah ke luar negara bagian Rakhine, menikah atau mencari pekerjaan di berbagai kantor pemerintah.

Petugas imigrasi setempat di Sittwe bernama Kyaw Swa Hla mengatakan, mereka kesulitan mengurus semua warga negara mereka.

“Kami tidak bisa hanya bicara soal hak asasi manusia. Kami bahkan tak bisa melindungi orang-orang etnis di negeri kami sendiri, mereka belum sepenuhnya menikmati hak mereka. Pemerintah kami yang sekarang ini tidak punya kapasitas yang cukup untuk memberikan kewarganegaraan kepada semua kelompok etnis. Jadi bagaimana mungkin kami bisa memikirkan mereka yang bahkan tidak dianggap sebagai kelompok etnis di negeri kami?”

LSM Arakan Project telah mendokumentasikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dialami orang-orang Rohingya.

Sang direktur bernama Chris Lewa yakin, memberikan kewarganegaraan kepada orang Rohingya bakal menyelesaikan banyak masalah.  

“Saya yakin kewarganegaraan itu penting. Banyak orang Rohingya, yang  mayoritas sudah tinggal di negeri ini selama beberapa generasi. Bahkan banyak diantara mereka di Sittwe punya berbagai dokumen untuk membuktikannya. Jadi menurut saya, orang-orang ini berhak untuk menjadi warga negara negeri ini. Sekarang Anda bisa lihat kalau sebagian penduduk punya kewarganegaraan dan yang lainnya tidak, otomatis ini tidak adil, yang bisa memicu diskriminasi dan memberdayakan satu pihak untuk melawan pihak lainnya. Jadi menurut saya masalah ini harus diatasi.”

Ma Hnin sudah tinggal di kamp pengungsi ini selama lima bulan sekarang.

“Masa depan kami masih belum pasti. Kami tidak tahu sampai kapan harus tinggal di kamp ini, dan kapan kami bisa pulang. Hal yang paling buruk adalah kami tidak punya pekerjaan.”

Terakhir Diperbaharui ( Senin, 05 November 2012 14:21 )  

Add comment


Security code
Refresh

Search