AsiaCalling

Home Laporan Khusus Pemandangan Yang Langka Di Perkebunan Teh Bangladesh Pemetik Teh: Sebuah Kehidupan Pahit di Bangladesh

Pemetik Teh: Sebuah Kehidupan Pahit di Bangladesh

E-mail Cetak PDF

Download  Teh merupakan minuman paling populer di dunia setelah air putih.

Dataran tinggi Bangladesh telah menghasilkan teh selama lebih dari 150 tahun.


Tapi para pemilik perkebunan teh mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan kondisi para pekerjanya.


Tindakan ini telah lama menjadi  kontroversi dan sumber konflik.


Dalam dua seri ini laporan ini, reporter Ric Wasserman berkunjung ke perkebunan di Timur Laut Bangladesh melihat pemandangan langka ke dalam perkebunan teh.

 

 


Ini merupakan tanda panggilan tengah hari di perkebunan teh. Panggilan ini terdengar jelas di penjuru perkebunan dan tetap sama sejak 1839, ketika teh pertama kali ditanam di sini.

 

Lima ratus pemetik teh di perkebunan Srigobindapur mengangkat keranjang yang penuh dengan daun hijau terang ke kepala mereka dan mulai menuruni jalan setapak yang kotor menuju tempat pemrosesan. Di kedua sisi jalan menghampar dahan-dahan teh setinggi dada.

 

Mereka kemudian memasukkan daun teh itu ke alat pengering dan beristirahat setelah lima jam berada di bawah terik matahari.

 

Amina Rao adalah generasi keempat pemetik teh.

 

”Saya bangun pagi sekali, menyiapkan sarapan untuk anak-anak, mengambil keranjang dan pergi ke kebun teh. Siang hari saya memetik sekitar 30 kilogram daun teh. Setelah istirahat, saya petik 30 kilogram lagi, baru saya pulang.”

 

Pabrik Srigobindapur, seperti 168 pabrik serupa di Bangladesh, secara umum terdiri dari tiga bangunan beratap seng besar. Di tempat itulah teh dikeringkan, dicincang halus, difermentasi ringan dan dikemas.

 

Russel Alom adalah sepupu pemilik pabrik. Tanpa bantuannya, saya tidak akan bisa memasuki gerbang pembuatan teh paling rahasia di dunia.

 

Para penjaga tidak suka jurnalis. Karena ada rangkaian laporan di media lokal, belum lama ini, soal kondisi kerja yang buruk bagi para pekerja kebun teh

 

Perkebunan teh Srigobindapur tidak luas. Sebanyak 500 pemetik teh bekerja di kebun seluas 161 hektar itu. Tapi keuntungan yang dihasilkannya besar.

 

Asisten manajer Azad Aziz.

 

“Biaya produksinya tujuh ribu rupiah per kilogram dan teh itu kami jual 27 ribu rupiah per kilogram. Kami ingin mengeskpornya ke luar negeri tapi permintaan dalam negeri sangat tinggi.”

 

Selisih biaya produksi dan harga jual menghasilkan keuntungan hingga 300 persen per kilogramnya.

 

Di Bangladesh, salah satu negara termiskin di dunia, selalu ada uang yang disediakan untuk barang yang tidak penting seperti teh. Konsumsi masyarakat pun meningkat hingga 70 persen.

 

Tapi bagi para pekerja di kebun teh sendiri, tidak banyak yang berubah sejak mereka pertama kali mereka didatangkan dari Negara Bagian Bihar, Asam dan Orisa, 150 tahun silam oleh Inggris.

 

Mereka dibawa kemari karena masyarakat setempat menolak untuk bekerja kasar atau menerima upah yang rendah.

 

Philip Gain, direktur Masyarakat Bagi Lingkungan Dan Pembangunan SDM Bangladesh.

 

”Bekerja di kebun teh itu sangat monoton. Setelah menanam mereka mulai memanen daun teh. Perempuan harus berdiri sepanjang hari namun, bayarannya sangat kecil. Saat ini mereka hanya mendapat enam ribu rupiah sehari.”

 

Bandingkan dengan pemetik teh di India yang memperoleh upah dua kali lipat.

 

”Para pekerja ini terpencil dari masyarakat. Sebagian besar pekerja beragam Hindu. Mereka dianggap dalit alias tak tersentuh. Mereka kerap jadi korban eskploitasi ekonomi dan pengucilan sosial. Kehidupan mereka sangat keras.”

 

Kunjungan ke Musem Teh di Srimangol membenarkan apa yang dikatakan Philip Gain.

 

Di antara artefak dalam kotak kaca ada koleksi koin yang disebut haziras. Koin itu dicetak oleh pemilik perkebunan dan digunakan sebagai alat pembayaran gaji para pekerja.

 

Karena koin itu hanya bisa digunakan di dalam satu perkebunan, ini meyakinkan pemilik, kalau para pekerja yang mencoba melarikan diri, tidak akan punya uang untuk kembali ke kampung halamannya atau bertahan hidup di luar kebun teh itu.

 

Setelah negosiasi yang alot dengan seorang penjaga gerbang, saya akhirnya diizinkan bertemu dengan Syed Alimuzzaman. Ia merupakan direktur salah satu penghasil teh terbesar di dunia, Finlays.

 

Perusahaan itu menghasilkan 12 juta kilogram teh per tahun. Tapi Syed Alimuzzaman mengaku keuntungan mereka sedikit.

 

”Laba dalam teh relatif sedikit. Anda harus menginvestasikan banyak uang tapi hasilnya kurang dari 10 persen dari total investasi, selain investasi modal. Sebuah jumlah yang sangat sedikit."

 

Sulit untuk dipercaya kalau batas keuntungan di Finlays lebih kecil dari Perkebunan Srigobindapur, yang jauh lebih kecil kebunnya. Mengingat pekerja di Finlays mencapai 15 ribu, ia yakin mereka seharusnya puas.

 

“Upah sudah tetap, tidak ada masalah dengan itu. Tahun lalu sudah naik sebesar 50 persen. Saya kira mereka tidak mendapatkan upah lebih sedikit, dibandingkan dengan di pabrik pakaian dan lain-lain. Selain itu mereka dapat rumah gratis.”

 

Sekitar tiga ribu pekerja memenuhi ibukota saat protes pada 2008. Mereka menuntut peningkatan upah 50 persen, seperti yang dikatakan Syed. Kini, mereka mendapat upah sekitar enam ribu rupiah sehari dan upah ini merupakan upah terendah di Bangladesh.

 

Dalam bagian kedua dari seri ini, reporter kami Ric Wasserman bertemu musuh utama pemilik perkebunan teh: pemimpin buruh Rambajan Koiri. Serta mendapat kesempatan langka untuk mendokumentasikan kehidupan keluarga dalam masyarakat pekerja teh yang tertutup.

 

Terakhir Diperbaharui ( Senin, 19 Juli 2010 10:38 )  

Add comment


Security code
Refresh

                 
  • Siaran Asia Calling Minggu ini

Winds of Change in Malaysia: Malaysia's reputation as a peaceful, multi-ethnic role model was shaken last weekend when thousands of protesters took to the streets of the capital, Kuala Lumpur. The rally was organized by a collective of non-governmental organizations and activists calling itself Bersih - or the Coalition for Clean and Fair Elections. The word "bersih" means "clean" in the Malay language. The group's stated aim is to push for reforms of Malaysia's electoral system, which it claims is skewed in favour of the governing coalition. Our correspondent Clarence Chua was there for Asia Calling and looks back at the events.

Pakistanis orphans fighting for the right to exist: In Pakistan if you’re an orphan you can not get a national identity card meaning you are left out of the state education, health and employment system. Blood parent’s details are essential in order to get an identity card.  Even adopted parents are not good enough. But Naeem Sahoutara meets one women fighting to change the laws through the courts.

These stories and much more this week

on Asia Calling:

Your Window on Asia